Meski sudah banyak himbauan dari para tokoh baik tokoh politik maupun keagamaan untuk tidak mengaitkan teror bom dengan agama tertentu, nyatanya susah diterapkan di kalangan akar rumput. Ada saja rasa kekhawatiran balasan yang akan menyasar kepada pihak yang selama ini diidentikkan dekat dengan pelaku teror bom.
Begitupun yang terjadi di Sri Lanka pasca teror bom di gereja. Seperti dilansir jpnn.com (28/4/19), Masjid Dawatagaha Jumma, Kolombo, Sri Lanka, tampak lengang Jumat lalu (26/4). Yang salat Jumat hanya sekitar 100 orang. Biasanya, jamaah sampai tujuh kali lipat.
Peribadatan pun singkat. Khotbah tak sampai 15 menit, padahal biasanya sejam. Jamaah juga diimbau tak lama-lama berada di sekitar masjid. Polisi dan anjing pelacak masih berkeliaran. Sebab, masih ada rumor tentang bom mobil di sekitar masjid.
"Alasan kami di sini adalah memberikan doa khusus untuk para korban bom gereja," ujar Reyyaz Salley, kepala pengurus Dawatagaha Jumma, kepada Agence France-Presse.
Salley bersama 100 jamaah merupakan kelompok muslim Kolombo yang memberanikan diri muncul di muka publik. Sebagian besar masjid meniadakan ibadah tersebut. Mereka takut menjadi korban persekusi atau bahkan sasaran serangan balasan.
"Kami ingin memberikan pesan kepada para ekstremis. Kami tidak akan takut," tegasnya.
Sebagian besar kaum muslim seakan ingin membuktikan bahwa mereka kaum moderat dan toleran. Poster-poster yang diangkat jamaah pun menegaskan itu. Ada yang mengutuk serangan bom bunuh diri. Ada pula yang menawarkan masjid sebagai tempat misa sementara waktu.
Namun, citra mereka kadung tercoreng. Ada teroris yang membawa nama-nama agama dan menyerang tiga gereja serta empat hotel. Jumlah korban tewas menembus angka 250. "Banyak korban yang termutilasi," ujar Menteri Kesehatan Sri Lanka Rajitha Senaratne.
Jangankan publik internasional, pemerintah Sri Lanka pun kaget. Muslim di Sri Lanka hanya 9,7 persen dari total 21 juta jiwa penduduk Sri Lanka. Tak pernah ada masalah agama yang berujung maut. "Kami tidak tahu apa-apa. Semua ini seperti petir yang menyambar tiba-tiba," kata Uskup Agung Kolombo Malcolm Ranjith.
Peribadatan pun singkat. Khotbah tak sampai 15 menit, padahal biasanya sejam. Jamaah juga diimbau tak lama-lama berada di sekitar masjid. Polisi dan anjing pelacak masih berkeliaran. Sebab, masih ada rumor tentang bom mobil di sekitar masjid.
"Alasan kami di sini adalah memberikan doa khusus untuk para korban bom gereja," ujar Reyyaz Salley, kepala pengurus Dawatagaha Jumma, kepada Agence France-Presse.
Salley bersama 100 jamaah merupakan kelompok muslim Kolombo yang memberanikan diri muncul di muka publik. Sebagian besar masjid meniadakan ibadah tersebut. Mereka takut menjadi korban persekusi atau bahkan sasaran serangan balasan.
"Kami ingin memberikan pesan kepada para ekstremis. Kami tidak akan takut," tegasnya.
Sebagian besar kaum muslim seakan ingin membuktikan bahwa mereka kaum moderat dan toleran. Poster-poster yang diangkat jamaah pun menegaskan itu. Ada yang mengutuk serangan bom bunuh diri. Ada pula yang menawarkan masjid sebagai tempat misa sementara waktu.
Namun, citra mereka kadung tercoreng. Ada teroris yang membawa nama-nama agama dan menyerang tiga gereja serta empat hotel. Jumlah korban tewas menembus angka 250. "Banyak korban yang termutilasi," ujar Menteri Kesehatan Sri Lanka Rajitha Senaratne.
Jangankan publik internasional, pemerintah Sri Lanka pun kaget. Muslim di Sri Lanka hanya 9,7 persen dari total 21 juta jiwa penduduk Sri Lanka. Tak pernah ada masalah agama yang berujung maut. "Kami tidak tahu apa-apa. Semua ini seperti petir yang menyambar tiba-tiba," kata Uskup Agung Kolombo Malcolm Ranjith.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar